ter-

aku pikir kamu yang paling menawan
dan kamu yang paling tampan
aku pikir kamu yang paling rupawan
dan kamu yang paling menawan
bukan pandang-memandang
tiada yang paling dipandang
bukan juga niat mengundang
semakin lama harus
semakin cepat aus
ingat dia paling disayang
kamu paling bayang
ke sana ke mari akhirnya lari
kejar sana kejar sini
baca atas
baca tengah
baca bawah
1 target, 10 target
berhenti sana berhenti sini
lepas satu lepas puluh
paling ringkas, paling singkat
paling sukar, berbelit-belit
main sana tanpa tanya
unjuk sini ajak sana
ubah ini atur jua
terus turun hingga menurun
tendang batu main batu
besar ukuran rasa pilu
cinta sana cinta sini
lagu ini lagu itu
itu paling didengar, yang lain tunggu
dia paling dari yang lain singkir sejenak
menghitung sana menghitung sini
satu repot, ajak lain repot
paham ini, paham itu
perhatikan dan praktikan
berangsur-angsur, lalu-lalang
jalan sendiri, bebas kemudian
berusaha tak paling bingung
asal membuat, tanpa tujuan pasti
bukan pantun, bukan juga puisi


Nanda Dega

(s)nail(s)

Berjalan-jalan sambil memberi makan mata dengan pemandangan sawah adalah hal yang ditunggu-tunggu tentunya, apalagi saat matahari ingin mengakhiri jadwal kerjanya di wilayah kami. Membiarkan ego menerima segala macam komentar dan membiarkan komentar itu datang kembali pada tuan atau pun nyonyanya, hingga ego berakhir di tempat yang hampir semuanya berwarna sama dengan brokoli, mungkin juga kol atau pun kulit alpukat, hanya saja tertutup oranye pukul 6 sore.

Sedikit ketenangan... sambil menguasai sedikit tempat untuk kududuki. Tak perlu teropong untuk mencari posisi yang kuinginkan. Untungnya masih bisa membedakan walaupun kuasa ada pada oranye. Melihat seekor siput yang meninggalkan lendirnya seperti jejak kaki hingga akhirnya menghilang dari pandangan kar'na semak kecil tak jauh dari posisi. Kelihatan bahwa warna coklat yang menguasai cangkang siput itu. Kembali kepada awalnya -mengenyangkan mata-, melanjutkan misi yang sempat tertunda.

Kembali, namun kini sampai 3 ekor siput berbaris rapi laiknya pasukan semut. Dari posisi siput pertamaku, sembari meninggalkan jejak lendirnya, namun melihat akhirnya, mereka mendarat tepat di bawah pohon yang tingginya tak jauh beda dengan kereta api seperti sedang mengamati pemandangan. Bukan hanya angkasa dan wilayah yang oranye, akhirnya para siput kuikutsertakan.

Baca.. baca... dan membaca. Kegilaannya pun dimulai, hanya saja butuh ketenangan ekstra. Berjalan-jalan sambil memikirkan bagaimana selanjutnya hingga pipi mulai membulat. Sedikit makan untuk otaknya dan dirinya setelah berjalan-jalan jauhnya dari rumah sampai mendapati tempat yang tak terduga. Untungnya di sana sangat sepi seperti baru pertama kali dibuka -seperti pelanggan pertama tentunya-.

Mulai serius kar'na dia sudah masuk ke dalamnya. Mengamat-amati dan memahami laiknya sedang berhadapan dengan sebuah pemandangan alam. Komat-kamit adalah tambahannya. Kadang mengetuk-ngetuk meja dengan kuku jari secara bergantian juga sebagai tambahan namun mulai merasakan hal ganjil.

Tatapannya tak berubah -tetap pada buku yang dibaca-. Masih sambil memikirkan bagaimana kelanjutan cerita ditambah komat-kamit dan ketukan jari-jarinya. Saat sudah pada akhir halaman, dia mulai merasa senang atas hiburan yang didapatnya. Keganjilan pada dirinya mulai menghantuinya hingga akhirnya ia sampai pada 2 kuku jarinya yang ia potong hari lalu dan ingat akan kecerobohannya dalam memotong sehingga lebih itu dan menyebabkan pedih bagi dirinya.




Nanda Dega