Calon Masak



Tahu bakal ada program magang tiba-tiba. Gua langsung deg-degan. Khawatir. Bingung. "Ugh.. kenapa harus ada beginian sih?!" Gua yang setelah itu berunding dengan diri gua sendiri, makin dibuat pusing. Gua yang ga tau apa-apa soal magang ditambah ngebahas hal itu dengan diri gua sendiri. Semua panik. Sampai-sampai bulu kuduk guapun ikut panik.


Sebagai seseorang yang memiliki sisi introvert, mendengar sesuatu yang tidak mengikutsertakan gua dalam perundingan akan sangat menyengat hati dan pikiran gua. Ngomel bentar, habis itu diberi waktu untuk berfikir. Namun sisi ekstrovert langsung pergi ke tengah panggung dan bilang ke semua saraf tubuh gua untuk jangan takut; "Berbaur itu seindah melukis kuda poni di atas cupcake dan sejenisnya." Mereka masing-masing memiliki jumlah trofi yang sama sampai sekarang. Hanya unggul di situasi tertentu, tidak berlaku selamanya secara kontinuitas.


Menyambung soal magang, akhirnya gua berbaur dengan rekan-rekan sekelas yang juga tengah dibuat pusing olehnya. Diskusi-diskusi pusing itu akhirnya membawa gua pada sesuatu yang namanya referensi. Gua sedikitnya tahu apa yang harus gua lakukan. Singkat cerita sampai pada pembuatan surat izin magang. Semuanya repot. Tak apa selama bukan gua doang yang repot. Kau tahu, repot yang sebenarnya bisa diselesaikan bersama. Repot sebagai tanggung jawab pribadi lain nilai. Empat buah amplop dengan masing-masing perusahaan tujuan yang berbeda, dengan maksud jaga-jaga sekaligus menghilangkan kata repot dalam 'papan tulis harian'.


Hingga suatu saat, semua surat itu tertumpuk dalam lemari gua di bagian paling atas sebelah kanan. Gua selipkan di antara buku bergambar kosong dan kertas-kertas lainnya. Salah satu rekan gua, Dessy Luckyana melakukan tindak ajak berawal dari kantor pemerintah di Jakarta Selatan. Sampailah kami di deretan gedung kementerian di Jakarta Pusat kemudian. Mencari satu persatu lowongan magang bagi pelajar, seperti penjaja coklat yang hilang harapan karena coklat yang dijajakan belum juga habis. Lalu sampailah di suatu kementerian, dengan hasil 1-0 bagi gua dan Dessy.


Hari-hari setelah petualangan di kementerian terakhir itu, gua benar-benar dibuat gundah. Dari jarak, transportasi, sampai biaya yang akan dikeluarkan jika gua melakukan magang di sana. Biarpun sampai di titik di mana surat izin untuk itu berhasil, namun masih ada sekelebat ketakutan dibenak. "Apa harus gua menghabiskan uang orang tua sebesar itu?" Bertarung dengan diri sendiri sangat tidak mengenakkan, biarpun kau suatu waktu memiliki kendali penuh untuk berkuasa. Namun akan lain jika sebelumnya kau memiliki kriteria-kriteria hidup yang telah kau catat pada tiap saraf dalam tubuhmu. Sangat melelahkan, lebih dari seorang pelari maraton di Hari Minggu. Lalu kudicerahkan oleh Yang Kuasa akan alternatif perjalanan dan orang yang ahli di dekat gua. Gua hitung, menghitung, dan memperhitungkan. Sampai akhirnya gua bermuara dengan mantaptidak begitu mantapdan menguatkan konsistensi gua untuk melakukan magang di kementerian tersebut.


Perekrutan tiba-tiba oleh karyawan yang bersangkutan kepada gua sampai (mungkin) kesalahpahaman-kesalahpahaman yang sempat terjadi disekeliling gua. Namun gua sudah ditempatkan di sanayang mana semua tidak ada yang terjadi secara kebetulan, membuat gua untuk terus bertahan dengan kondisi lingkungan tanpa mempertahankan gua. Sesaat, pada akhirnya. Matahari bangkit tiap pagi. Begitu seharusnya. Bangkit tanpa khawatir cercaan, dan sebagainya. Karena sudah ditempatkan di deskjob seperti itu. Sampai hari ini.


Minggu tiap minggu gugur. Dua bulan sebagai waktu yang dianggap valid karena data-data mendukung yang terkumpul. Bahkan gua harus menyaksikan pertukaran direktur yang membuat orang-orang pertama menjadi terakhir bahkan hampir tidak kelihatan. Begitu juga tugas yang diberikan. Sisi ekstrovert gua semakin menjadi. Dia membutuhkan sesuatu yang lebih, terus biarpun tidak ada yang memberikan. Layaknya persembahan, namun dalam bentuk tugas.


Lalu tiba hari di mana gua harus berpapasan secara terakhir dengan seluruh karyawan di ruangan tersebut. Tempat gua sempat pusing dengan atau tanpanya tugas, atau orang-orang dewasa yang terpaksa bergaul dengan remaja-remaja yang dihauskan akan laporan magang dan susunan skripsi. Kembali deg-degan, namun ini lebih dari pertama gua tahu hadirnya program magang di program studi yang gua geluti. Degup khawatir. Khawatir ga bisa lihat canda versi orang-orang seperti mereka. Apalagi the way some laugh. Saat tiba pada target pertama, gua hampir dibuat cengeng karena intonasinya yang terdengar menyedihkan. Seperti bumbu perpisahan benar-benar kental dalam diri gua. Betul menyakitkan. Hal-hal eksentrik yang gua suka harus tertahan di sana. Ga bisa gua bawa pulang secara objek.


Yang kemudian kembali kepada mereka yang awal-awal. Gua harus menuju lantai 3 dan ketika memasuki ruangan, semua ada di sana. Benar-benar diberikan kesempatan untuk berpamitan. Gua sangat bingung ketika mengatakan bahwa itu adalah hari terakhir magang. Yang bisa gua lakukan adalah menunduk dan berbicara. Si ekstrovert entah kenapa tidak melakukan tugasnya secara penuh. Namun bagaimana lagi, itu adalah tanggung jawab dan kontrak yang harus disepakati, baik di awal maupun di akhir hari.


Tidak ada alasan pasti lagi jika gua ingin ke sana, selain menuntut terjadinya lembar sertifikat. Lebih dulu magang, lebih dulu selesai magang. Memiliki waktu kosong dalam hitungan bulan sampai hari Ujian Akhir Semester hingga memasuki semester di mana huruf-huruf lebih penting ketimbang lembar-lembar kertas yang terbuang, yang sifatnya hanya memuaskan kemudahan atau alasan-alasan lainnya.


Selesai, tapi hanya sampai di situ. Masih banyak buku kosong yang harus diisi, sebagai riwayat yang akan ditabur bagi lahan-lahan muda di era-era asing yang ada di depan. Iya, di depan sana. Kau akan dibuat sadar nantinya.





Nanda Dega,
Ilmu Komunikasi,
di kolom yang hampir akhir.


Pusa

Dia s'lama ini memerhatikan saya.
Iya. Mata dan kelopaknya selalu bersikeras menangkap memori tentang saya.
Dia tahu saya tengah menghadapi pusaran hasrat.
Dan saya terburu-buru ingin menggapainya.


Mereka masih belum yakin. Beberapa yakin di dalam ketidakyakinan mereka sendiri.
Saya sudah berusaha diam, tapi mereka terus menggoda saya.
Atau saatnya saya pancing karena merasa bosan.
Cara yang salah menuju tujuan yang (dirasa) benar.


Saya semakin lelah karena latihan yang belum juga mencapai kolom akhir.
Padahal sudah melakukannya di luar lingkaran pelindung.
Saya sadar cara yang salah, tapi bodohnya terus mencoba.
Untuk mendapat centang di satu tugas di kategori sosial.
Kar'na sempat menyandang kekalahan di zaman dulu.


Sudah terlalu banyak berfikir.
Makanya jadi pandai mengira.
Mendapat persepsi buruk,
mencari persepsi yang baik.
Untuk bertahan hidup.


Hingga akhirnya hasrat saya dipuaskan secara kreatif.
Di rute yang tidak saya sadari. Juga waktu.
Aku selalu dibela. Walaupun sering memakai 'teori sejak lahir' itu.
Dan soal ini s'lalu terjadi bahkan pada kita semua.


Kenapa selalu mencari, padahal sudah di depan hidung?


Termenung sebentar.
Lalu berdoa agar tidak terlalu masuk,
ke dalam kategori.
 

N. Dega―


waras tak berakses


Belum tiba di kelas, dia sudah ditindas.
Belum ada di kantor, dia sudah dicaci maki.
Hampir semua menganggapnya gampang.
Dan semua memiliki urusannya masing-masing.


Hilang di setiap menit.
Siapa yang mampu membatasi kamu?
Kamu kepenuhan aberasi.
Orang-orang sulit mau dan mampu memahamimu.


Aku tidak sedang membangun puisi.
Hanya penggalan-penggalan kalimat yang ingin keluar.
Kamupun begitu. Ingin keluar namun kamu selalu terjebak di sini.
Alasan keamanan, 50 berbanding 50.


Tatapan dan sikap yang sudah mereka janjikan sebelum menginjak keset rumah.
Sebagai hadiah yang kamupun ga akan paham. Dan mereka tidak begitu peduli.
Karena kerasukan sibuk. Kerasukan keluarga.
Kerasukan waktu. Kerasukan kesehatan.
Semuanya menjadi semakin tidak waras.


Kamu bukan hasil transfer sihir.
Hanya kesalahan yang tercipta disekitar.
Sosok yang dibentuk untuk membentuk.
Penyesalan meronta, kalbu yang tak bisa istirahat.


N. Dega


Jauh-jauh kau malas! Sialan, sampai menumpuk. Layak untuk disebut sebagai gunung.
Jika ini dunia bisnis, hancurlah sampai potongan terakhir.
Rajungan kotor! Ditambah kau yang mencemari benakku. Tenggelamlah ke yang terdalam dari yang terdalam.
Jauhi radius pandangku!

B'rengsek!

racun pergaulan

Aku keracunan rindu.
Di waktuku sendiri.
Bagi kamu, bagi yang terpilih.
Takaran yang tak tersebut.
Cara menggunakan yang tak tercetak.
Tapi ada satu aksi ini.
Seperti penghapus yang bisa bekerja sendiri.
Di malam hari. Ketika para tuan tidak di rumah.
Atau saat mereka sedang tidur.
Keapatisanku yang berhasil dipatahkan.
Aberasi yang terkontaminasi.

Sempat berfikir kondisi masa depan tanpa kalian.
Lalu sekonyong-konyong orang asing memperkenalkan diri
lewat papan tulis yang kudesain sendiri.
Ingin masuk dalam pergaulan.
Ingin masuk dalam pikiran.
Pikiran yang telah lama direstriksi.
Sayang..

Lomba maraton dimulai.
Tapi aku pura-pura tidak memulai.
Bingung.
Lalu jadi gagu dan tidak profesional.
Tidak bisa di-searching
seperti kunci lisensi gratis di situs-situs online.

Maaf sempat telat.
Aku benci telat.
Tapi aku juga benci testimoni palsu.
Aku..
Ughh..



N. Dega―


kerasukan


Melakukan langkah dari rumah dengan sepatu gaya tradisional. Gua biarin diri gua yang lain memperhitungkan langkah demi langkah sebentar. Sebentar yang lain menatap orang-orang yang melakukan tatapan pertama ke gua. Lumayan banyak dapat atensi dari orang-orang yang entah dari mana saja tempat kembang sejak lahirnya. Apa ada pertanyaan dari mereka gimana 'bagian dalamnya'? Gak! Lagipun mereka bukan penerka ulung.

Lalu menatap netizen yang dengan megahnya 'menumpahkan kuah lengket' di kolom komentar. Kuah yang menurut mereka wangi kondisinya. Berkualitas tinggi. Kar'na malasnya mengeksplorasi lebih dalam, gua langsung kasih tanda 'bahaya' di pinggir laut. Atau tatkala leaving group di media sosial. Ada saja keberhasilan diri yang lain saat berbisik tentang ini dan tentang itu. Sayang, mereka tidak menerima piagam atau semacamnya.

Ada lagi ketika kereta berhenti di stasiun s'lanjutnya. Apalagi kalau nampak banyak calon penumpang lewat kaca kereta. Akan atau sudah berakting tidur agar tempat duduk tidak diinvasi pendatang baru. Lelah, malas. Pernah dengar testimoni dari salah satu penumpang. Lagi enak duduk di samping temannya, tiba-tiba tempat duduknya diinvasi wanita yang ketebalan tubuhnya melebihi tebal tembok pembatas wilayah. Egoisme dan gila hormat selalu b'rani merasuki atma orang-orang. Juga ketakutan kar'na jenis kelamin dan gerbong yang 'didominasi'. Masih saja memerhatikan hal-hal seperti itu. Gampang s'kali manusia kena rasuk.

Apalagi ketika seseorang mendaki gunung hingga berada di puncaknya. Bau yang ia cium merasuki hati dan pikirannya. Mulai membentuk ruang hingga dunia dengan megahnya. Tujuan semula dibelok ke arah dia berpijak kini. Yang lainnya penerus. Entah penerus budaya atau bangsa.

Lalu saat dengar lagu-lagu favorit. Kepala, bahu, tangan, sampai bokong mengikuti semua arah mata angin. Saking kuatnya daya rasuk musik itu, hingga membuat kita menciptakan akal atau pikiran-pikiran yang di luar kemampuan.

Masing-masing kena rasuk. Di ruang besar ini punya banyak pilihan yang kadang hadir di luar logika dan ga menghasilkan apa-apa ke depannya bagi otak orang lain. Banyak yang ikut campur tapi ga merubah ke hal-hal yang benar. Karena benar hanya menurut versi otaknya. Otak yang tumbuh-kembangnya didominasi entah di lingkungan mana. Nasihat juga hampir punah tujuan aslinya.

Manusia memang makhluk yang unik. Juga hebat.
Bisa kena rasuk, bisa juga merasuki.


Nanda Dega