Seperti 86%



Seperti.. eh, bukan. Memang ini ada di tiga hari yang lalu. Hari setelah rencana disusun oleh 4 orang termasuk saya. Berkeinginan keras untuk pergi kar’na bekal-bekal yang udah tersedia juga jauhh sebelumnya. Agak berat awalnya, tapi untung sang “pemberani” merasuki saya walaupun tidak sampai 100 bahkan 90 persen. “Ga peduli,” kata sisi yang lain.

Sebelumnya menyapu lantai rumah supaya berguna sebelum pergi jauh, tanpa dapur kar’na sedang dipakai. S’telah itu bergegas bersihkan raga dan menyiapkan segala kebutuhan untuk di sana termasuk bekal-bekal yang jauh-jauh hari sebelumnya. Sudah, dan b’rangkat.


Dengan 2 jenis angkutan umum di mana satu jenis pertama terdiri dari 3 buah angkutan umum yang berbeda jurusan. Sedari akhir dari yang ketiga, saya berubah menjadi seorang turis. Bertanya sana bertanya sini. Untung tidak sampai memasukkan koin ke dalam mesin supaya pertanyaan-pertanyaan saya terjawab.

Di stasiun itu sang “pemberani” terkikis kar’na cara menjawab mereka yang buat saya kurang meyakinkan. Tapi untungnya tidak terkikis lebih dari 50 persen. Jika iya, saya harus menunggu transportasi berwagon berikutnya.

Melelahkan, mengantuk. Tapi untungnya di dalam sana suasananya sejuk. Gak cuma angkot, di wagon pun saya juga bisa mengantuk. Benar-benar susah mendorong kantuk keluar bahkan sampai 100 persen. Sang “pemberani” perlahan terkikis di tempat-tempat tertentu, dan tetap aja akhirnya saya gak peduli. “Kan bisa ambil wagon yang diseberang,” dalam benak biarpun sebenarnya agak malas kalo benar saya salah jurusan.


Tatkala tiba, saya mengenal tempat itu dan senang. Kesenangan itu hampir menguasai saya 100 persen. Dari entah wagon keberapa, saya jalan mengikuti penumpang yang lain ke depan hingga akhirnya saya putuskan untuk pilih jalan sendiri―di kota lain yang amat berjarak itu.


Langit s’pertinya sedang menenun payung berwarna hitam lagi. “S’pertinya akan turun hujan di sini,” pikir saya. Bagus juga kar’na saya pun takkan lama di sana.

Ya, terlambat! Terlalu siang saya pergi dan terlalu lama transportasi berwagon itu berjalan. Dia bahkan sempat berhenti kar’na sesuatu, membuat saya kehilangan hingga berpuluh-puluh persen liburan. Yaa, inilah akibatnya tidak memperhitungkan keadaan hingga 99 persen. Tapi biar bagaimanapun, saya tetap harus memanfaatkan kesempatan itu walaupun hanya belasan persen.


Menggunakan tangga penyebrangan, menyebrang kecil, menelusuri jalan setapak dengan toko-toko kecil di pinggirnya, istirahat sebentar dengan memesan minuman rasa moka, setelah itu menelusuri jalan setapak lagi hingga tidak peduli sampai mana saya akan terdampar. Lagipula jalannya mudah diingat. Di akhir perjalanan setapak saya, saya pesan minuman bersoda dengan es krim vanili di atasnya ditemani kentang goreng porsi sedang. Menikmati kartun sebentar, lalu pergi meninggalkan tempat makan bergaya Barat itu yang sebelumnya saya teliti lagi barang-barang bawaan saya. Ingin mencapai stasiun, saya kembali menggunakan jalan setapak―jalan yang pernah dilalui. Saat sampai di toko kecil itu, saya pesan Takoyaki untuk saya bawa pulang ditemani obrolan kecil antara saya dengan si penjual.


Sangat disayangkan hanya menggunakan belasan persen waktu di sana. Maka dari itu saya beranikan diri berjalan di jalan setapak terusan. Baru satuan persen perjalanan, langit ternyata sudah menyelesaikan payung tenunannya. “Udah gerimis! Balik ah.” Hingga akhirnya saya sampai di stasiun.


“Masih kurang.”
“Ke mana lagi ya? Tapi hujan.”


Belum besar persennya, saya tunggu di sana sembari duduk dan dengar musik. Dengan alasan Takoyaki akan dingin saat sampai di rumah, saya makan akhirnya. Padahal hanya 5, tapi saya malah kenyang. Aneh!


S’belum naik kereta, saya manfaatkan kamar mandi terlebih dahulu mengingat perjalanan itu memakan waktu hingga berpuluh-puluh persen. Masih gerimis, tapi untungnya basah hanya 10 persen. Hingga akhirnya saya tiba, duduk, dan menikmati kembali perjalanan yang amat berjarak.


Hal aneh lainnya adalah bekal-bekal yang saya bawa tidak saya makan satupun, kecuali 3 buah permen karet rasa tutti fruti.



Dua jam lebih saya rasakan perjalanan dari duduk hingga berdiri. Sesampainya saya di stasiun akhir, di saat itu langit memakai jubah hitam dengan pola bintangnya. Kembali saya gunakan 3 angkutan umum yang berbeda jurusan menuju tempat tinggal. Sudah s’kitar 43 persen saya jalankan dan sudah 2 kali saya aplikasikan. Begitu besarnya sehingga saya lebih berfokus pada sesi yang satu itu. S’kitar 73 persen penyesalan menghantui saya, namun lain kesempatan akan saya awali di pagi hari agar bisa membayar utang-utang yang saya buat di perjalanan sendiri yang lalu itu.



Nanda Dega H.


yang akan membayar utang-utang perjalanannya
suatu hari nanti.



P.S.: Potret waktu itu tidak bisa hadir kar'na perjalanan yang di kota itu cuma s'kitar 14 persen.