fussy girl



Gagahnya dirimu berucap.
Entah di mana dan kapan,
tak pernah hilang kesempatan berbicara.
Kau pikir kau siapa?


Talk in cinema
lebih baik angkat dari pada ketenangan.
Kau patahkan jalur pendengaran.
Dan mereka dapatkan bonus programa.
better than talk on corner


laughing in the library
entah mengapa kau nian keras kepala.
Apa dunia sudah gila?
Apa aku memang belum bangun tidur?


Gagahnya dirimu berucap.
Entah di mana dan kapan,
tak pernah hilang kesempatan berbicara.
Kau pikir kau siapa?


Nasihat, bukan. Amarah juga bukan.
Apa sebenarnya yang kau inginkan?


Betapa gagahnya dirimu berucap.
Entah di mana dan kapan,
tak pernah hilang kesempatan berbicara.
Dunia ini penuh dengan copy kamu.


Begitu gagahnya dirimu berucap.
tak pernah hilang kesempatan berbicara.
Semoga ini hanya mimpi buruk
yang bersifat sementara.


Begitu gagahnya dirimu berucap.
Kau pikir kau siapa?
Apa kau robot yang dikirim dari masa depan
untuk menghancurkan?
Tidak bisakah dunia waras sesekali?


Begitu gagahnya dirimu berucap.
Entah di mana dan kapan,
tak pernah hilang kesempatan berbicara.
Tak pernah lupa menunjukkan keahlian.


Nanda Dega


HALO, Angin!



Sore yang indah,
buat dirinya tetap kokoh berdiri
di bentangan hijau luas.
Para mega maju searah pandangnya.
Serta upaya 'tuk menyatu.
Nature~


Burung-burung kecil mendarat lembut pada ranting-ranting
yang daun-daunnya kena siram sinar sore.
Ada kuda yang gagah berdiri di sudut
serta jembatan beraspal disebelah sana.
Angin menyapa.


Keluar di 4 pagi.
Bagi raga yang haus.
Beserta headphone yang tersambung dengan radio.
Dan aneka riasan pagi.


Rencana dipatahkan oleh yang lain.
Keinginan berubah.
Ikuti jejak yang angin buat.
Lihat graffito yang disebelah sana!


Setelah raga adalah mata.
Angin tuntun dia pada taman kanola.
Jalan setapak ada di dalam
hingga berakhir pada sisi satunya.


Tanpa camera ia memotret.
Asanya adalah keabadian.
Angin masih segarkan dia.
Mengisinya.


Berbaring pada bumi yang hijau itu.
Katakan halo pada bayu.
Katakan juga pada Halo.
Tanpa sadar, kar'na menutup mata.


Nanda Dega


Gap, Gangplank



Aku tidak akan membuatmu tunggu lama.
Pergilah ke rumah—istirahat dan makan.
Buat dirimu senyaman mungkin
di saat aku tak ada.
Ini hanya tugas.
Dan hal ini pasti bisa kuselesaikan.
S e g e r a.
Secepatnya.


Tolong, jangan pasang wajah itu.
Jangan bersedih.
Aku usahakan segera.
Secepatnya.
Jangan bersedih
di tangga karatan ini.


Lihat.
Mereka sudah siap 'tuk naik ke kapal.
Saatnya kita "berpisah sementara".
Turunlah.
Tolong jaga yang lain di rumah
sementara aku melaksanakan tugas.
Jaga juga diri kamu.


Jangan lupa..



Nanda Dega


Eja



Melangkahlah kamu..
kemari.
Sudah aku siapkan segala yang kau butuhkan di sini.
Di garis finish.
Kau tahu, aku sudah tidak sabar melihatmu di sini.
Membuatmu bertahan di sini bersamaku untuk beberapa saat,
dengan cerita-cerita lucu dan menegangkan.
Dihadapan api unggun
dan dalam aula besar nan gelap
dan sunyi.
Biar hanya suara kita dan alam yang berdendang.


Sudah berapa banyak yang kamu kuasai?
Jika lelah, beristirahatlah sejenak.
Di beberapa tempat telah kutaruh makanan kecil dan minuman segar.
Hanya untukmu.


Aku masih menunggumu menyelesaikan tugasmu.
Sekaligus membantu.
Tidak akan berat selama aku membantumu meraih.
Ya, selesaikan dahulu.


Jalanilah langkah selanjutnya,
agar kamu makin mahir.
Di hadapanku dan semua orang.
Agar mereka tahu..
Betapa pandainya dirimu.


Nanda Dega


Kabut







Tangis..
Tangismu tidak akan digubris orang-orang.
Orang-orang itu akan semakin berpergian jauh.
Ya. Kau tidak diajak.
Dan juga tak dicari.


Suara..
Silahkanlah kamu bercakap-cakap.
Dengan diri sendiripun juga boleh.
Banyak orang akan bertanya.
Ya, selamat. Orang-orang memerhatikanmu.
Tapi,
apa perhatian mereka hingga pada datang kepadamu?


Sama saja dengan mengurung diri di kamar.
Kau bersuara dan mereka mendengarmu.
Tapi, apa mereka lihat wajahmu?
Atau tengah terjebak di hutan.
Mendengar saja belum tentu
tercantum dalam kamus hari itu.


Orang-orang hanya lihat bayanganmu,
tidak dirimu yang sesungguhnya.
Kau hanya sketsa di atas kertas polos.
Penuh coretan dan sampah karet.






Nanda Dega


Rock Gate






Lahir pada 1920,
oleh tangan seorang yang patah hati
sebelum pernikahan dilaksanakan.
Berjalan menjauh dari kota kelahiran,
menghabiskan waktunya di negeri orang lain.
Menjadi insan yang diselimuti tanda tanya.


Orang-orang kebingungan juga takjub.
Melihat benda-benda dengan bentuk yang unik.
Mereka berusaha lihat,
namun ia berhenti mengolah.





Banyak tafsiran yang mengalir tentang kastil koral.
Namun ia tetap menutup mulutnya,
untuk hal-hal yang ia anggap
perlu ditutupi.


Diamagnetik? Perhitungan matematika? Lokasi yang salah?
Namun lain bagi mereka. Esoteris.
Masih bertautan dengan Edward.
Dengan aroma sains.
Dan misteri gerbang mati,
pada 1986.






Nanda Dega


Intrik

HEY!
Mengapa....?
MENGAPA kau RAJUT MASALAH ?
Tolong LEBIH BIJAK!


HEY!
Mengapa....?
MENGAPA aku DIAM SAJA DAN TIDAK MELAKUKAN APA-APA?
LEBIHLAH GIAT DAN BERUSAHA!


HEY!
Mengapa....?
APA YANG KALIAN LIHAT?
Kalian pikir aku BONEKA BERUANG?
TATAPAN yang kalian berikan, TATAPAN MACAM APA ITU?
Aku TIDAK SUKA!


Kau TIDAK SUKA jika itu terjadi, maka UBAHLAH!


Kau BENCI mereka yang menertawakanmu, maka TUNJUKKAN!
Biar mereka yang akan makan AMPAS-AMPAS USAHAMU!
Mereka AKAN KENYANG nantinya.
JANGAN TAKUT!


Sudahkah kau dekatkan dirimu pada Yang Esa?


Baikkah dirimu?


HEY!
Mengapa....?
MENGAPA kau RAJUT MASALAH ?
Tolong LEBIH BIJAK!
BERCERMINLAH!
Coba RASAKAN BERADA DI POSISIKU!
JANGAN HANYA BERLAKU!


Kau TIDAK SUKA jika itu terjadi, maka UBAHLAH!
BUAT mereka MENUTUP MULUT mereka!
JANGAN TAKUT!


Kebohongan APA LAGI yang harus KUTANGGUNG?


Virus APA LAGI yang harus KUHADAPI?


Melalui mulutmu,
Kau telah MELAKUKAN KESALAHAN BESAR.


TANGGUNGLAH, sama seperti aku MENANGGUNGNYA.

Suatu saat...
Di masa nanti.
Bersama kata-kata dan HOBI BUSUKMU!



Salam,



Nanda Dega


—telah rusak





pernikahan yang sia-sia

mereka tinggalkan semua.

bahkan rajutan kasih dan kenangan.


padahal...

telah mereka tinggalkan orang tua mereka

demi pernikahan itu

pernikahan yang sia-sia


mereka buang jauh..

hingga yang lain tahu.


Burung-burung gagak mengitarinya

setelah itu mendarat.


mereka telan habis.


tidak ada yang tersisa.

hanya darah..


pernikahan mereka hanya bersisa darah..


pernikahan yang sia-sia



Nanda Dega


ketika kau tahu bahwa gelas yang pecah tidak bisa disatukan lagi

Tiba-tiba seseorang datang kepadaku. Benakku.
Ketika aku sedang berjalan-jalan sendiri dalam ruang biasaku.
Ia merajut sebuah topi lagi padaku.
Seperti yang sebelum-sebelumnya, buat saya keluarkan air mata.
Lagi.


Kali ini, entah kenapa dengan dia.
Wanita yang sedang populer saat ini
dalam sebuah acara televisi.
Hinggap dalam benak sebagai orang yang saya kenal.
Entah apa tujuan ia merajut topi ini untukku.


Hanya aku dan ia saja.
Berawal pada sebuah salon.
Aku datang menghampirinya yang sedang berada di ujung kiri ruang
dekat bangku pelanggan.
Aku berbicara mengenai salonnya, memberi ia selamat.
Melihatnya sukses.


Secara misterius, ruang berubah menjadi kelas.
Kelas kampus.
Hanya, pada penglihatanku —ia dan sekitarnya— bukan sedang berada di kelas.
Itu berbeda dengan perasaanku.
Melihat sekitar dengan inderaku.


Ia berbicara seolah kepada orang banyak.
Padahal hanya aku seorang yang ada.
Mungkin ini masih perasaanku.
Melihatnya berbicara, mengingatkanku akan masa-masa yang lalu, bersama dia.
Seperti teman, namun entah mengapa itu.
Saya mulai menangis
dan seketika itu juga tersadar
dalam dunia nyata.


Menyadari air mata saya dan jantung yang berdegup takut.
Takut akan kepecahan, takut akan perpisahan.



Nanda Dega


B






B




A






Puzzle



Malam hari bisa jadi 2.
Tetapi lebih suka pilih 'tuk beraktivitas, bersama ruang dan gelap sunyi.
Di saat orang-orang menuliskan esai, kau malah membuat 1 halaman Gurindam.


Mencari-cari sesuatu hingga pada sudut. Tiap sudut.
Tanpa perlu menonton ketidakpedulian yang lain.
Bisa merasakan itu.
Satu sisi menunggu tindakan mulia.
Namun sepertinya hal mustahil mulai terpikir.


Menonton seseorang yang meninju cermin toilet hingga berpisah itu satu dengan yang lain.
Membuat pusing orang yang menggunakan.
Mereka mulai membicarakannya di sudut. Hanya beberapa.
Dan tak banyak dari semua yang tidak peduli.
Juga tak banyak dari semua yang beranggap positif.
Itu sangat wajar.


Bersembunyi itu rutinitas.
Mereka hanya benda tak penting yang kerjanya hanya mondar-mandir.
Membuat sempit dan tidak nyaman.
Perlunya pembagian wilayah yang jelas,
bagi yang berkepentingan dan yang tidak berkepentingan.


Biar alarm berdering di 8 pagi.
Bel rumah pun. Biar berbagai macam orang mengisi ruang rumah dengan bunyinya.
Terus, terus, dan terus menerus, dengan respon yang diumpat bersama orang rumah.


Bermalam-malam cari teman bermain.
Bermalam-malam kurangkan bosan, beli makanan kecil di toko.
Tapi bermalam-malam, sepi sama dengan konstan.
Hanya pendaki gunung yang sendirian, padahal umumnya dilakukan secara bergerombol.


Dulunya yang sering mencari, sekarang jarang mencari.
Telah banyak belajar dari buku pengalaman.
Serta realisasikan semua.


Diri yang lain bertanya pelan:
"Kau baik?"


Kegemaran yang berbeda. Porsi sesuai pesanan.
Tiap insan menikmati hidangan masing-masing.
Namun masih hadir insan-insan yang kurang bahkan tidak puas.
Diam, tetap tenang, masih jadi solusi.


Tidak ingin mengikuti "mitos-mitos" zaman sekarang.
Begitu membencinya. Terlihat dari cara pandang dan sikap.
Ingin bebas, menentukan permainan dan petualangan apa yang dihasratkan.


Hidup begitu misterius.
Mengerti, harus satukan potongan-potongan.
Tertera sesuatu pada potongan-potongan.
Baik aku, kamu, maupun mereka.



Nanda Dega



Rumah Pohon



Tengah mendendangkan lagu yang mereka suka

*memetik gitar*
......... mmmhhh ......
la..lala..laa... ~

Tidak harus gitar listrik atau piano memang, walaupun aku juga jatuh cinta pada mereka.
Kini kupersilahkan biola dan gitar untuk menempati ruangku.
Tapi bukan berarti aku tak setia dengan kalian, teman-teman lama. Tolong biarkan aku bekerja.
Kalian jangan segan karena aku ingat kalian, tatkala aku menggesek biola dan memetik gitar.
Kalian coklat pucat dan coklat-kemerahan.


Aku ingin mengisi kamar ini dulu, kamar yang sudah tidur bersamaku dan melindungiku mati-matian ini.
Dia... coklat pekat. Berjendela dan bertirai.
Kalau kalian lihat dia, kalian pasti ingin memeluknya kar'na sinar eloknya yang memikat.
Tapi sayang, dia terlalu besar untuk kalian peluk.
Dia akan terlihat keren kalau aku bermain gitar atau biola di depan pintu.
Memang kami ini saling melengkapi.


Dia seperti payung di saat hujan dan topi di saat musim kemarau.


Aku bisa melihat lapangan bola dari sini.


Aku juga bisa melihat kebun pamanku.
Pamanku adalah orang yang rajin. Setiap hari kebunnya diperlakukan seperti kepala ratu, dilayani dan dimahkotai. Lihat saja mahkotanya itu, hingga berwarna-warni warnanya.
Tidak jarang juga aku mengambil beberapa bagian dari mahkota itu untuk kumakan.
Benar-benar sedap, sebagai pengganti jajanan yang ada di toko-toko.
Dan mahkota itu bisa mengurangi pengeluaranku tentunya.

*penjahat kecil!*

Aku tidak menyebut itu tindak kejahatan.
Aku hanya melakukan apa yang guruku ajarkan padaku:
"manfaatkan sumber daya alam"
Begitu kata beliau.


Dan juga, kalian bisa melihat pemandangan yang spektakuler dari sini. Pegunungan.
Biarpun terlihat kecil, tapi itu cukup untuk menyejukkan hati dan mata kalian.
Dari sini kalian bisa merasakan sejuknya pegunungan itu.


Dedaunan suka menjadi jendela keduaku, biarpun hanya lewat celah-celah.
Seperti jendela yang dilapisi oleh jendela lain.
Tapi, itu adalah salah satu dari keindahan rumah pohon ini.
Kalian bisa jatuh cinta kar'nanya.


Ayahku berkata kalau aku terlalu sibuk dengan duniaku sendiri.
Ibuku berkata kalau aku harus bermain bersama teman-teman di luar sesekali.
Tapi, biarpun kalimat-kalimat itu sudah kusambung dengan kata sambung "dan", tetap aku masih belum mau mengindahkan.
Pertama kali aku keluar untuk mencari teman, yang kutemukan hanya sekumpulan anak-anak yang hobi menggosip, bermain gadget, dan kesibukan-kesibukan lainnya.
Anak-anak itu seperti orang dewasa saja. Aku tidak mau dikelilingi dan bergaul dengan orang dewasa yang seperti itu.
Dan itu adalah yang terakhir bagiku untuk keluar mencari teman.


Kuterjun dengan sepatu kets, celana pendek, serta kemeja yang serba putih dari rumah pohon kemudian.
Tenang. Ketinggian rumah pohon dengan tanah tidak sampai ratusan meter.
Selain itu, aku bukan mendarat di atas kumpulan paku berkarat yang siap menusuk kaki.
Hanya rerumputan indah yang siap diinjak.
Alangkah tenangnya, kar'na ini bukan paragraf horor.


Angin —sumber daya yang tidak tahu sopan santun— berhembus sembarang —karena aku tidak tahu datang dari arah mana—, menabrak pepohonan yang ada disebelah sana sebelum ia menabrak pohon yang jadi tempat tinggal rumah pohonku.
Kalian seharusnya berada di sini saat itu.
Kar'na wajahnya yang selama ini tertutup rambut, hampir terlihat penuh.
Setelah sekian lama bersembunyi dari orang-orang.
Menunjukkan ketampanannya sekali lagi.
Pada kami...
Sore itu.





Nanda Dega