Vie


"Setenggak kopi tidak akan membunuhmu. Ayolah!" sembari menodongkan cangkir 1/2 penuh kopi ke Dize. S'perti biasa, Dize menatap sangsi padanya, pada kopi. Kopi pernah membawa kenangan pahit baginya atau bisa dibilang karena cerobohnya. Sejak Dize duduk di sekolah dasar ia sering menghabiskan uang membeli apa yang ia inginkan. Bahkan ayah dan ibunya mengomeli Dize yang merobek celengan plastik pembeliannya dengan pisau demi memenuhi keinginan lidahnya. Dize tidak pernah pensiun dari perilaku kekanakannya bahkan hingga sekarang. Merusak celengan adalah keahliannya. Seperti bakat, ia latih itu sejak dini.

Dize yang sejak itu membeli permen kopi bak biasanya memenuhi kebutuhan lidah setelah bermain memutar-mutar badannya dengan tangan kanannya sebagai tuas pada tiang listrik berkarat berjarak 10 langkah dari rumahnya seperti sedang memerankan tokoh Bollywood yang dulu kedua kakaknya gemar menonton. Dibandingkan sekarang, celah antartiang tidak bisa membuatnya bebas berputar seperti dulu. Yang bisa dilakukannya cuma dua hal -mendirikan tiang sendiri atau memandangnya sebagai masa lalu yang menyenangkan-. Tidak sia-sia ia berputar layaknya Bollywood, ia mendapatkan tanda di kepalanya. Pusing. Satu-satunya yang ia salahkan adalah permen rasa kopi yang masih diemutnya. Ia memuntahkannya, menunggu pusingnya reda, lalu pergi ke rumah untuk mengistirahatkan kepalanya setelah berlaga Bollywood.

Kata demi kata ditulisnya di notes biru panjang bertumpuk membentuk seperti buku, hanya saja itu dibuka dari bawah ke atas bak kalendar meja umumnya. Dize tidak berhenti mengingat dan merangkai kata-kata di notes biru panjang itu akan apa yang ia alami waktu lalu. Mendapat teman baru yang bisa diajak berbincang dan bermain merupakan kebahagiaan bagi Dize. Tak disangkanya akan menemukannya di tengah-tengah perkumpulan para ibu pada malam hari. Itu seperti perkumpulan untuk mengikat eratkan tali persaudaraan sesama suku. Perkumpulan itu dilakukan di dalam rumah yang pemiliknya merupakan salah satu dari anggota perkumpulan. Tak jarang juga Dize menjelajahi ruang tamu yang merupakan tempat berkumpulnya para anggota saat itu. Teman-teman barunya juga tak kalah aktif kakinya menjelajahi tempat perkumpulan. Mereka lebih menyukai bermain di halaman rumah itu ketimbang lapangan yang jaraknya hanya 8 detik dari situ.

Sepulangnya dari bermain, matanya mengaktifkan sensor makanan setibanya di rumah Dize. Dize pergi menuju kulkas yang ada di sudut ruangan, di sebelah kanan. Didapatinya buah hijau muda yang terpotong-potong di atas piring yang dasarnya -bagian luar piring- berornamen ikan. Dize tanpa mencuci tangan langsung mencabut potongan buah tersebut dari tempatnya. Kini sensor di tangannya yang aktif. Tapi memakan buah tersebut tak menjadikan hari Dize menyenangkan. Kepalanya kembali mendapat tanda pusing. Dize enggan berhenti berjalan menuju kamarnya. Setelahnya ia berjanji takkan memasukkan buah mengerikan itu ke dalam tubuhnya lagi. Ia telah menandai kopi dan hari ini dia menandai buah melon. Padahal, sebelum laga Bollywoodnya ia menyukai kopi. Terkadang ia menambahkan gula lalu mencicipinya sebelum mencampurnya dengan air panas.

Bukan hanya itu, Dize memiliki sebuah telepon genggam yang diproduksi oleh salah satu perusahaan besar. Pemilik sebelumnya salah satunya ialah kakak keduanya. Kakaknya, Hedi, tidak lelah untuk menjadikan telepon genggamnya terlihat seperti baru. Misalnya saja Hedi yang pernah menghiasi casing bagian belakang dengan cat warna ditambah bantuan dari kuas cat. Memang tidak selamanya, telepon genggam itu akhirnya berpindah tangan, hanya saja masih lingkup Dize dan keluarganya. Tidak jarang juga Dize memohon Hedi dan pemilik lainnya untuk meminjamkan telepon genggam tersebut padanya. Biarpun rupa dan fungsinya yang terbatas, telepon genggam itupun dapat menciptakan musik sesuai keinginan kita dengan nada-nada yang tersedia. Dulu Dize suka sekali melakukannya, tapi tidak untuk hari ini dan hari-hari setelahnya. Zaman berubah seiring perputaran jarum jam. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali telepon genggam itu dipakainya. Ia sadar namun kesadarannya masih membuatnya menangis. Entah kapan ia bisa merasakan masa kanak-kanaknya yang bebas dan juga naif. Namun pada akhirnya ia sadar. Sadar dari dirinya yang tengah memutar film masa lalunya. Dize masih memandangi cangkir yang 1/2 penuh kopi itu di atas meja. Sambil duduk dan mengatakan pada dirinya, "sadarlah! memang menyakitkan. Inilah kehidupan," desahnya.




Nanda Dega